M NATSIR
-“Saya tidak takut masa depan, karena
tidak ada bahaya. Masa depan milik umat islam jika mereka istiqomah baik secara
pribadi maupun secara kolektif.”-
Sosok kelahiran Sumatera Barat, 17 Juli 1908 ini sudah tidak asing lagi namanya berdengung di telinga kita. Kiprahnya sebagai pendiri sekaligus pemimpin partai Masyumi termasuk salah satunya.Pemikiran-pemikiran beliau sebagai pejuang islam dan Indonesia tak diragukan lagi. Dalam buku Capita Selecta, Hamka menulis kata sambutan berupa “Maka fikiran M. Natsir ini, dapatlah diartikan fikiran Muslimin Indonesia dan sudah pada tempatnya pula kita kemukakan.”.
Pandangan politik M Natsir berbicara mengenai kefahaman
politik Islam yang merangkul kekuatan demokrasi dan pancasila. Karyanya yang
fenomal adalah Negara dan Agama, Capita
Selecta I dan II, Islam sebagai Dasar Negara. Pemikiran beliau dipengaruhi oleh
Jamaludin Al Afgani, Rasyid Ridho, Ali Abdul Razik yang sudah kita kenal
sebagai tokoh-tokoh Pan-Islamisme.
Pandangan
Natsir mengenai Islam dan kebangsaan ialah mengibaratkan keduanya bagaikan
sekeping mata uang di mana Islam dan kebangsaan tidak bisa dipisahkan. Pemahaman
ini bersifat integralistik, yakni agama dan negara menyatu (integral). Agama
Islam dengan segala kesempurnaaannya sudahlah mencakup urusan ketatanegaraan.
Masyarakat tidak bisa membedakan aturan negara dan atura agama karena keduanya
menyatu. Bagi siapa yang melanggar aturan negara, berarti melanggar aturan
agama pula.
Dalam
perdebatan tentang Pancasila pada masa dewan Konstuante, Natsir beranggapan
bahwa Islam merupakan “Rahmataan lil ‘alamiin” bagi semua elemen kehidupan
berbangsa khususnya dan dunia umumnya. Ajaran Islam haruslah digunakan untuk
menjaga kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Berbeda tentunya dengan para
pendiri negara di Eropa atau Amerika yang justru meniadakan agama dalam proses
mendirikan bangsanya, Natsir melihat bahwa agama adalah suatu keniscayaa dalam
masyarakat. Agama telah berperan dalam
motivasi masyarakat dalam berjuang melawan penjajah. Natsir cenderung
menganggap bahwa Nasionalisme Indonesia harus bersifat “Kebangsaan Muslimin”,
Islam sebagai ideologi. Paandangan ini mengutip juga dari Montgomery Wat,
“Islam is more than a religion, it is a complete civilization.” Berbeda dengan Soekarno yang mengutip paham Ataturisme atau Kemalisme
mengenai pemisahan hubungan antara agama dan negara. Menurut Natsir, sekularisme
mengingkari kenyataan sosiologis masyarakat Indonesia karena agama telah
menjadi "a living reality".
Jangan tanyakan seberapa besar kiprah beliau terhadap negara ini. Beliaulah yang mengajukan mosi integral yang mana implikasiyang ditimbulkan adalah bersatunya Indonesia ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat Indonesia menjadi RIS dan Indonesia sudah terpecah menjadi 17 negara bagian, “Mosi Integral Natsir” tampil dan mampu menyatukan Indonesia. Atas jasanya ini, Soekarno mengangkatnya menjadi Perdana Menteri RI.
Ketika
RIS baru berdiri, kekacauan terjadi dimana-mana. Natsir berpendapat bahwa
masalah pokok yang harus dipecahkan adalah bagaimana membentuk NKRI. Menurut
beliau, “Pembentukan NKRI itu harus tanpa menimbulkan konflik antar
negara-negara bahagian.” Mosi Integral Natsir tertuang dalam naskah autentik
DPR dengan butir pemikiran sebagai berikut, (1) Semua negara-negara bahagian
mendirikan NKRI melalui prosedur parlementer, (2) Tidak ada satu negara
bahagian menelan negara bahagian lainnya dan (3) Masing-masing negara bahagian
merupakan bahagian integral dari NKRI yang akan dibentuk.
M
Natsir sudahlah beruang kali mempertahankan NKRI dari ancaman perpecahan. Pada
1949, beliau berhasil membujuk Syarifuddin Prawiranegara untuk kembali ke Yogya
dan menyerahkan pemerintahan ke Soekarno-Hatta karena tersinggung pada
perjanjian Roem-Royen. Selain itu, Natsir juga berhasil menaklukkan tokoh Aceh,
Daud Beureuh yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara.
Tak dapat
dipungkiri, M Natsir adalah seorang dengan banyak sekali kelebihan. Selain
kecintaannya terhadap Islam dan Indonesia, kemampuan beliau dibidang lain juga
tak kalah hebatnya. IA adalah seorang intelektual musli yang menguasai khazanah
ilmu keislaman, memahami ilmu tafsir, hadis, fikih, sejarah, dan syariah. Ia
bisa berbahasa Belanda, Arab, Prancis, dan Latin pada usia 21 tahun. Selain
itu, beliau juga mahir dalam memainkan beragam alat musik. Seperti pula
disinggung di awal, karya beliau Capita Selecta berisikan mulai dari fikh,
kebudayaan, politik kebangsaan, ideologi, hubungan antaragama, kebudayaan,
peradaban dan banyak pikiran pentingnya lainnya.
Kecintaan beliau dibidang pendidikan juga tercermin dalam upayanya
mendirikan sejumlah Universitas Islam yang kurang lebih berjumlah 9
universitas. Dalam dedikasi dalam dunia Internasional tidaklah main-main. Ia memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya
membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara tahun 1957, menjabat
Wakil Presiden World Muslim Congress (Muktamar Alam Islami) di Karachi,
Pakistan tahun 1967, mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon
dalam bidang politik Islam tahun 1967, anggota World Muslim League di Mekah,
Saudi Arabia tahun 1969, anggota Majlis A’la al-Alam lil Masajid tahun 1972,
menerima “Faisal Award” atas pengabdiannya kepada Islam dari King Faisal tahun
1980, anggota Dewan Pendiri The International Islamic Charitable Foundation,
Kuwait tahun 1985, anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies
di London, Inggris pada tahun 1986 dan angota Majelis Umana’ International
Islamic Univesity di Islamabad, Pakistan.
Untuk
mempersiapkan pemuda, M Natsir mengusulkan :
Satu-satunya jalan itu,
ialah membimbing dan mempersiapkan tunas-tunas muda daripada generasi yang
akan menyambung permainan di pentas sejarah. Mempersiapkan jiwa
mereka, melengkapkan pengetahuan dan pengalaman mereka, mencetuskan api
cita-cita mereka, menggerakkan dinamika mereka, menghidupkan “self – dicipline”
mereka yang tumbuh daripada Iman dan Taqwa. [Mohammad Natsir: At-Taushiatul
Khamsah]
Sumber
Komentar