CHS-1 Eps 2 (1.500.000rp)
Assalamualaikum semuaa :D
Kembali lagi bersama saya di CHS-1 episode kedua..
ada kabar terbaru nih, jangan sampe kudet yaaa
Tepatnya hari Senin, 16 Februari 2015 kami mendapat pengalaman yang luar biasa. Hari ini kelas kami menjadi kelas terkaya se-IC tahun ini atau bahkan mungkin dari awal IC berdiri sampai sekarang. Wow, mau tau kas kelas kami??
>1.500.000 rupiah
jeng jeng..
Bukan tanpa alasan kelas kami mendadak kaya. Sebuah kesalahan kecil yang berakibat cukup fatal lah yang kami rasakan. Seperti kita tahu bahwa hari ini adalah H-2 acara terbesar sekolah kami yaitu Sonic Linguistic 2015 :D , emang sih pesertanya udah nyampe 1829, tapi satu perlombaan masih kekurangan peserta. Apa hayoo?? Grafitti bray, baru 5 tim.
Trus apa hubungan Grafitti sama duit kas kami?
Tepat di jam pelajaran KIR yang mana kita ga boleh buka apapun selain KIR, salah seorang dari kami ketauan buka situs lain yanng gaada hubungannya sama KIR. Saya pun duduk di sebelahnya dan dengan jelas melihatnya. Bukan tanpa alasan pula saya hanya diam, yang dilakukan teman saya adalah menyebarkan poster Grafitti di salah satu media sosial. Kalau di pikiran saya sih, kalau misalnya Grafitti nyampe kekurangan peserta dan ditiadakan (Naudzubillah) yang menanggung malu kan ya bukan saya sendiri tentunya.
Tapi apa daya, perjanjian ya perjanjian. Kelengahan ya kelengahan. Ga ada gunanya bela diri, toh saya nulis ini bukan untuk bela diri tapi untuk berbagi. Perjanjian di awal pertemuan adalah denda masing2 sekitar 101rb rupiah. Ya itupun terjadi. Keberatan ga keberatan ya itu namanya konsekuensi.
Kontan saja, hampir semua anggota kelas kami gelisah. Bagaimana tidak? 2 hari lagi Sonlis diadakan dan minggu depannya kita ada Studi Kolaboratif ke Jogja yang tentunya akan memakan banyak dana. Belum lagi berbagai atribut yang sudah menanti untuk dibayar, sebut saja yang paling sederhana kaos sonlis. Sebagian dari kita juga belum bayar.
Bukan. Bukan itu yang dipermasalahkan. Bukan hanya masalah uang dan uang. Kemarin saja, jujur saya katakan bahwa saya tak sampai hati untuk meminta tambahan uang saku ke orangtua saya mengingat saya akan berangkat ke Jogja, terlalu dramatis jika saya ceritakan. Tak ayal lagi, saya pun meneteskan air mata kala itu. Mendengarkan nasib saya setelah lulus SMA nanti. Nanti.
Tapi lagi-lagi itu yang disebut sebagai sebuah konsekuensi. Memang tak enak rasanya. Apalagi kalau keluarga kita bukan berasal dari keluarga yang berada. Sebuah kata "Tanggungjawab" yang kini mengajarkan kita akan pentingnya sebuah keprofesionalitasan. Tak perlulah menyalahkan siapapun dalam hal ini. Nikmati saja hidup ini. Sebuah rasa bersalah layak bertengger di hati kita, namun bukannya dengan rasa bersalah itu kita akan terus mengintropeksi diri masing-masing?
Sangat wajar rasanya jika kita memiliki rasa "ga enak" kepada kedua orangtua kita, justru itu yang harus ada dalam jiwa kita sebagai seorang anak. Tapi kita juga harus ingat bahwa kita bukan di masa TK atau SD lagi, meski belum pantas juga di bilang dewasa, tapi setidaknya kita sudah belajar tentang bagaimana seseorang yang bertanggungjawab itu dengan berani mengambil keputusan dan menyetujui berbagai kesepakatan. Menyetujui berarti siap menghadapi resiko. Belajar menghadapi resiko itulah yang bisa dibilang berat untuk ukuran seusia kita meski terlihat cukup sepele bagi orang dewasa.
Mungkin teringat oleh kita semua masa-masa di mana kita harus hemat uang jajan, merasakan susahnya mengatur pengeluaran. Mencuci disaat teman lain laundry, berpuasa disaat semua jajan dan banyak lagi. Saya jamin, semua pasti pernah merasakan itu. Benar kan?
Jadi, lagi-lagi kita harus terus berusaha belajar bagaimana cara menempatkan hati dan perasaan. Jujur saja, saya sudah sering terjepit dalam kondisi seperti ini. Namun, satu senyuman bisa mengubah segalanya. Tak ada yang perlu disalahkan, tak perlu mencari kambing hitam. Yang harus dilakukan versi saya adalah, ikuti saja alur ini sambil mengambil hikmahnya dan tentunya ikutilah sembari tersenyum :) akan enteng rasanya..
~Hidup itu mubadzir rasanya jika dilalui hanya dengan bersedih hati~
Kembali lagi bersama saya di CHS-1 episode kedua..
ada kabar terbaru nih, jangan sampe kudet yaaa
Tepatnya hari Senin, 16 Februari 2015 kami mendapat pengalaman yang luar biasa. Hari ini kelas kami menjadi kelas terkaya se-IC tahun ini atau bahkan mungkin dari awal IC berdiri sampai sekarang. Wow, mau tau kas kelas kami??
>1.500.000 rupiah
jeng jeng..
Bukan tanpa alasan kelas kami mendadak kaya. Sebuah kesalahan kecil yang berakibat cukup fatal lah yang kami rasakan. Seperti kita tahu bahwa hari ini adalah H-2 acara terbesar sekolah kami yaitu Sonic Linguistic 2015 :D , emang sih pesertanya udah nyampe 1829, tapi satu perlombaan masih kekurangan peserta. Apa hayoo?? Grafitti bray, baru 5 tim.
Trus apa hubungan Grafitti sama duit kas kami?
Tepat di jam pelajaran KIR yang mana kita ga boleh buka apapun selain KIR, salah seorang dari kami ketauan buka situs lain yanng gaada hubungannya sama KIR. Saya pun duduk di sebelahnya dan dengan jelas melihatnya. Bukan tanpa alasan pula saya hanya diam, yang dilakukan teman saya adalah menyebarkan poster Grafitti di salah satu media sosial. Kalau di pikiran saya sih, kalau misalnya Grafitti nyampe kekurangan peserta dan ditiadakan (Naudzubillah) yang menanggung malu kan ya bukan saya sendiri tentunya.
Tapi apa daya, perjanjian ya perjanjian. Kelengahan ya kelengahan. Ga ada gunanya bela diri, toh saya nulis ini bukan untuk bela diri tapi untuk berbagi. Perjanjian di awal pertemuan adalah denda masing2 sekitar 101rb rupiah. Ya itupun terjadi. Keberatan ga keberatan ya itu namanya konsekuensi.
Kontan saja, hampir semua anggota kelas kami gelisah. Bagaimana tidak? 2 hari lagi Sonlis diadakan dan minggu depannya kita ada Studi Kolaboratif ke Jogja yang tentunya akan memakan banyak dana. Belum lagi berbagai atribut yang sudah menanti untuk dibayar, sebut saja yang paling sederhana kaos sonlis. Sebagian dari kita juga belum bayar.
Bukan. Bukan itu yang dipermasalahkan. Bukan hanya masalah uang dan uang. Kemarin saja, jujur saya katakan bahwa saya tak sampai hati untuk meminta tambahan uang saku ke orangtua saya mengingat saya akan berangkat ke Jogja, terlalu dramatis jika saya ceritakan. Tak ayal lagi, saya pun meneteskan air mata kala itu. Mendengarkan nasib saya setelah lulus SMA nanti. Nanti.
Tapi lagi-lagi itu yang disebut sebagai sebuah konsekuensi. Memang tak enak rasanya. Apalagi kalau keluarga kita bukan berasal dari keluarga yang berada. Sebuah kata "Tanggungjawab" yang kini mengajarkan kita akan pentingnya sebuah keprofesionalitasan. Tak perlulah menyalahkan siapapun dalam hal ini. Nikmati saja hidup ini. Sebuah rasa bersalah layak bertengger di hati kita, namun bukannya dengan rasa bersalah itu kita akan terus mengintropeksi diri masing-masing?
Sangat wajar rasanya jika kita memiliki rasa "ga enak" kepada kedua orangtua kita, justru itu yang harus ada dalam jiwa kita sebagai seorang anak. Tapi kita juga harus ingat bahwa kita bukan di masa TK atau SD lagi, meski belum pantas juga di bilang dewasa, tapi setidaknya kita sudah belajar tentang bagaimana seseorang yang bertanggungjawab itu dengan berani mengambil keputusan dan menyetujui berbagai kesepakatan. Menyetujui berarti siap menghadapi resiko. Belajar menghadapi resiko itulah yang bisa dibilang berat untuk ukuran seusia kita meski terlihat cukup sepele bagi orang dewasa.
Mungkin teringat oleh kita semua masa-masa di mana kita harus hemat uang jajan, merasakan susahnya mengatur pengeluaran. Mencuci disaat teman lain laundry, berpuasa disaat semua jajan dan banyak lagi. Saya jamin, semua pasti pernah merasakan itu. Benar kan?
Jadi, lagi-lagi kita harus terus berusaha belajar bagaimana cara menempatkan hati dan perasaan. Jujur saja, saya sudah sering terjepit dalam kondisi seperti ini. Namun, satu senyuman bisa mengubah segalanya. Tak ada yang perlu disalahkan, tak perlu mencari kambing hitam. Yang harus dilakukan versi saya adalah, ikuti saja alur ini sambil mengambil hikmahnya dan tentunya ikutilah sembari tersenyum :) akan enteng rasanya..
~Hidup itu mubadzir rasanya jika dilalui hanya dengan bersedih hati~
Komentar